Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puasa Ramadhan, ibadah privasi yang terpublikasi

 


Memasuki bulan puasa Ramadhan, seluruh umat muslim menyambut gegap gempita. Berbagai mass media, banner, spanduk, baliho, bahkan percakapan di media sosial di dominasi topik tentang datangnya bulan Ramadhan. Ini terjadi terutama di wilayah muslim mayoritas. 

Puasa itu sendiri sebenarnya ibadah khusus, hanya hamba dan Tuhannya yang tahu. Hal ini mengingatkan saya yang pernah mengalami hidup di daerah muslim minoritas. 

==========================

Suatu pagi saya menjalankan tugas lapangan dengan seorang teman kerja. Setelah panas terik mulai menyengat, saya mengajak dia makan siang. Dengan berat hati, ia berkata, “Maaf ya, aku lagi puasa.” 

Saya jadi merasa bersalah dan  salah tingkah. Dalam hati membatin, makanya kok dari tadi gak menyentuh minuman sama sekali. Saat itu udara cukup panas dan membuat tenggorokan cepat kering. Tapi dia, yang seorang kristiani, tidak tertarik untuk membatalkan puasanya. Bahkan, tidak ada yang tahu sejak pagi, kecuali ketika terpaksa harus berterus terang dengan saya.

==========================

 Peristiwa itu mengingatkan bahwa:

    1. Puasa sudah diperintahkan sebelum Islam, sesuai ayat yang sering dibaca saat Ramadan, 
      …. كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم ………

      Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkannya kepada (umat) sebelum kamu


      2. Puasa ibadah khusus untuk Allah, sebagaimana hadits qudsi
      كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به
      (Allah berfirman): Semua ibadah anak Adam adalah untuk dia kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahala.

      Dengan keistimewaan puasa dari ibadah lainnya seharusnya dijalankan secara spesial juga. Spesial karena ini adalah hubungan rahasia antara seorang makhluk dengan Kholiq-nya. Sangat privasi.

      Dalam Alkitab juga disebutkan:

      Tetapi kalau kamu berpuasa, minyakilah rambutmu dan basuhlah mukamu. 

      (Mat 6:17)

      Ini sebuah upaya agar saat berpuasa tetap terlihat segar sehingga tidak ada yang tahu kalau ia sedang berpuasa. Umat terdahulu, sudah ada perintah puasa. Alkitab hanya memberi tahu cara menjalankannya. Dengan menjalankan seperti ini, tentunya tidak akan ada perlakuan istimewa buat dia yang berpuasa dalam menjalani rutinitas harian. 

      Bagaimana dengan bulan Ramadhan? Semua yang tersebut diatas itu adalah kebalikannya. Bukannya ibadah privasi, puasa Ramadhan justru dipublikasi besar-besaran. Beberapa minggu sebelum Bulan Ramadhan pun, pemerintah sudah heboh dengan urusan harga pangan, arus mudik, sidang isbat dan sebagainya. Belum lagi iklan-iklan bertebaran mulai dari sirup, obat mag, sampai suplemen. Mal-mal pun menebarkan promosi. Pegawai negeri bahkan mendapat “diskon” jam masuk kantor.

      Mengenai "diskon" PNS ini, guru saya di tanah rantau sempat berpesan, “Sebaiknya kamu jangan ungkit-ungkit itu. Nanti kalau sampai dicabut, kita juga yang susah”. Saya hanya tersenyum simpul. Di daerah dimana muslim adalah minoritas, memang tidak mudah menjalani hari-hari puasa Ramadhan. Apalagi kalau “sok-sokan” mau disamakan dengan orang lain, tidak perlu diistimewakan alias dihiraukan saja. Cukup berat menjalani bagi yang tidak biasa berpuasa. 

      Bulan Puasa dan Pola Konsumsi

      Ada suatu cerita di negeri seberang, si bule yang non muslim diberitahu tentang puasa Ramadhan di Indonesia, berkomentar,”Wah, 30 hari berpuasa, pasti akan banyak biaya konsumsi yang dihemat ya.. Kalau satu kali makan siang, berarti misal 1 porsi 15 ribu kali 30 hari, berarti sudah hemat 450 ribu rupiah. Kalau dalam satu keluarga ada 4 orang, berarti satu bulan hemat 1,8 juta rupiah”.

      Si orang Indonesia dengan tergagap menjawab, “Faktanya, konsumsi saat bulan Ramadhan malah meningkat 25 s/d 50% lho. Bahkan setiap kali memasuki Ramadhan selalu terjadi inflasi. Demand meningkat”.  Mendengar itu, si bule hanya melongo sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

      Hikmah puasa yang terpublikasi

      Dengan bulan ramadhan yang sudah dikondisikan sedemikian rupa, maka menjalankannya pun menjadi mudah. Saat berada di tempat kerja, di perjalanan, dimana pun berada, terutama jika penduduk setempat adalah mayoritas muslim, tentu tidak ada kendala berarti.  Bagi umat non muslim pun juga berlaku sama jika berada di wilayah agama mayoritas.  Hari Raya Nyepi kemarin umat Hindu menjalankan puasa pati geni, Bali seakan mengaktifkan mode silent. Semua toko tutup, jalan-jalan sepi, bahkan bandara dan pelabuhan pun tidak beroperasi. Umat Hindu di Bali beruntung, dengan populasinya yang mayoritas bisa dikondisikan sedemikian rupa. Demikian juga umat kristiani di sebagian wilayah Indonesia Timur yang mayoritas di daerahnya, dapat menjalani puasa pra paskah dengan nyaman. Perlu diketahui, puasa (dan berpantang) pra paskah bahkan selama 40 hari.

      Bagaimana dengan umat beragama di wilayah minoritas? Situasi memang tidak sebaik jika berada di wilayah yang mayoritas seagama.  Tapi jika masih berada di wilayah Indonesia yang beradab, menjalankan ibadah agama bukan hal yang sulit untuk dilaksanakan. 

      Lebih memprihatinkan lagi adalah berpuasa di daerah konflik, seperti Palestina. Bahkan jauh sebelum bulan puasa pun, warga Palestina sudah tidak makan berhari-hari di kamp pengungsian. Datangnya bulan puasa Ramadhan ini sempat diusulkan gencatan senjata, tapi sepertinya kedua belah pihak Israel-Hamas memilih untuk melanjutkan pertempuran. Setidaknya bulan puasa ini mengetuk hati siapa saja, terutama umat muslim yang peduli terhadap saudaranya yang menjalani hari-hari yang berat di daerah konflik.

      Merenung kembali bahwa bulan Ramadhan sudah sangat diistimewakan oleh pemerintah RI dan masyarakat, sebagai upaya untuk memudahkan bagi mereka yang menjalankan puasa. Oleh karena itu,  perlu diingat bagi yang menjalankan puasa, hendaknya menyadari bahwa:  (1) Fasilitas yang diberikan sekarang ini sudah memadai, (2) Tidak perlu minta dihormati karena puasanya itu, (3) Puasa bersifat privasi, orang lain berpuasa atau tidak bukan lah urusannya, (4) Puasa adalah mengekang hawa nafsu, bukan hanya merubah pola makan.

      Sebagaimana sebuah program gebyar diskon sebuah produk, dimaksudkan agar makin banyak orang mencoba dan merasakan manfaatnya. Ketika sudah lewat program promosi tersebut, yang sudah merasakan menfaatnya akan tetap mengkonsumsi. Mungkin analogi seperti itu dengan bulan Ramadhan. Ketika para pemula dan awam (seperti saya) dapat merasakan manfaatnya, di luar bulan Ramadhan diharapkan terus melakukan hal yang serupa, baik dengan puasa senin-kamis, ayyamul bidh, atau puasa Daud beserta ibadah lain di dalamnya. 

      Ramadhan juga disebut sebagai bulan tarbiyah, bulan untuk mereview kembali, menambah porsi belajar lebih besar dari biasanya. Diantara 12 selama setahun diharapkan satu bulan khusus untuk reorientasi aktivitas selama ini. Yang umumnya adalah memaknai sebatas keduniawian, atau kadang seolah-olah ukhrowi padahal belum tentu, pada bulan Ramadhan ini direview kembali. Siapa tahu, ada beberapa koreksi yang kemudian tujuan dari seluruh aktivitas dunia ini benar-benar ke arah jalan yang lurus.

      Semoga bermanfaat

      Wallahu A’lam bi showab

      Posting Komentar untuk "Puasa Ramadhan, ibadah privasi yang terpublikasi"