Kisah Khalid bin Walid, dipecat sebagai panglima karena TIDAK PERNAH KALAH perang
“Aku tahu, kau kecewa, Khalid.
Tapi itulah keputusanku”, Umar bin Khatab berkata dengan tegas meski agak
parau. Khalid bin Walid ingin mengatakan sesuatu tapi
kerongkongannya seperti tercekat. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya.
Nafasnya memburu. Ia berusaha menahan diri dan mengatur nafas. Rasa marah
bercampur lelah berkecamuk. Tangannya yang berdebu mengepal di atas meja kerja
Umar bin Khatab. Tampak sepucuk surat kekhalifahan yang lusuh tergeletak.
Beberapa menit yang lalu Khalid tergesa-gesa turun dari kuda. Ia meminta untuk menemui Khalifah Umar bin Khatab sambil membawa sepucuk surat. Sehari semalam ia telah berkuda tanpa istirahat selain untuk sholat. Ia sudah meminta ijin pada panglima penggantinya untuk meninggalkan sementara pasukannya di perbatasan Persia. Usai dipecat sebagai panglima, ia bertekat mempertanyakan hal ini. Tujuannya adalah Madinah untuk menemui Khalifah Umar.
Sesuai perintah Khalifah Umar melalui surat, Khalid bin Walid harus menyerahkan tampuk pimpinan pasukan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Khalid mendapatkan surat pemecatan di saat perang penaklukan Persia sedang berkecamuk. Khalid dan Abu Abaid bersepakat untuk merahasiakan keputusan khalifah Umar ini agar tidak membuat gaduh kesatuannya yang sedang berperang.
Umar bin Khattab tetap sabar menunggu Khalid yang sedang menata hatinya. Khalifah Umar sadar, pertemuannya ini tidak hanya antara prajurit dan khalifah, tapi juga antara saudara sepupu. Status Khalid sekarang adalah prajurit biasa, tapi Khalifah Umar tidak akan pernah menutup mata akan sepak terjang Khalid sebagai panglima selama ini. Sudah 50 puluh pertempuran dibawah kepemimpinannya tak pernah sekalipun menderita kekalahan. Bahkan sebelum ia masuk Islam dan berada di pihak kafir Quraisy, pasukan kaum muslimin menderita kekalahan hebat ketika perang Uhud. Saat itu Khalid memimpin pasukan kavaleri dan menjadi penentu kemenangan kafir Quraisy.
Kemenangan kafir Quraisy ini sekaligus menjadi ajang pembalasan atas kekalahannya pada Perang Badar. Saat itu Khalid bin Walid kebetulan tidak ikut berperang karena sedang bepergian.
“Kesalahan apa yang sudah aku
lakukan?” Suara Khalid terbata-bata, akhirnya memecah keheningan.
“Sama sekali bukan karena
kesalahanmu, Khalid. Kekuranganmu masalah administrasi itu sangat aku maklumi. Tak
pernah sekalipun aku meragukan akhlakmu”, jawab Khalifah Umar. “Keputusanku
ini untuk menyelamatkan akidah kaum muslimin dan menjagamu agar jangan sampai
lengah. Memenangkan pertempuran bukan tujuan akhir. Sebaliknya, menjaga
akidah adalah tujuan utama jihad, tak peduli menang atau kalah berperang.” Sambungnya.
Khalid mencoba mencerna kalimat dari
Khalifah Umar. Keningnya mengkerut. Namun hingga beberapa saat ia belum yakin dengan
apa yang ia pikirkan. Ia memutuskan untuk menunggu kalimat Khalifah Umat selanjutnya.
“Kau sudah memimpin peperangan puluhan
kali. Tidak pernah sekalipun menderita kekalahan. Bahkan berperang melawan pasukan yang terlatih, peralatan perang yang handal, dan jumlah pasukan yang lebih besar puluhan kali lipat, tapi
kau tetap bisa mengatasinya. Strategi perang mu selalu jitu. Kau memanfaatkan
setiap jengkal medan pertempuran, kemampuan dan kekuatan pasukan yang ada untuk
kemenangan kaum muslimin.” Khalifah Umar berhenti sejenak, kemudian
melanjutkan. “Pasukanmu semakin percaya diri. Mereka yakin akan bisa
memenangkan pertempuran, selama kau yang memimpin. Bukan karena keimanan akan pertolongan Allah SWT. Bagi pasukanmu, kau lah yang menjadi malaikat maut
bagi lawan”
Khalid terhenyak. Tidak pernah ia
memikirkan hal ini. Waktu demi waktu yang ia pikirkan hanyalah bagaimana ia memenangkan
pertempuran. Bahkan Khalid seringkali termenung sejenak saat mendapati sebuah tempat baru, memperhatikan sekeliling untuk memikirkan dan membayangkan situasi peperangan. Melihat bukit dan lembah kemudian tertegun untuk memikirkan strategi apa jika medan pertempuran seperti itu.
“Kaum muslimin memujamu di setiap
kesempatan. Melantunkan syair-syair kegagahanmu. Mengajarkan kepada anak-anak
mereka untuk meneladanimu.” Mata Khalifah Umar mulai berkaca-kaca. “Mereka
selalu bersemangat untuk mengantarkan keberangkatan pasukanmu. Beramai-ramai
menyambut kalian saat pulang membawa kemenangan. Aku memikirkan ini sejak
lama. Makin hari semakin gelisah. Itu lah sebabnya, langkah pertamaku setelah
aku dibaiat sebagai khalifah adalah memberhentikanmu sebagai panglima.”
Kini Khalid semakin mengerti. Ia
menghela nafas.
“Sejak kekalahan kaum muslimin di
Perang Uhud, Rasulullah beberapa kali membicarakanmu. Pasukan kavaleri yang kau
pimpin membuat keadaan berubah 180 derajat. Kau cerdas, ahli berkuda dan ahli
siasat perang. Kami selalu berdoa agar kau diberi hidayah. Kini kaum muslimin semakin gembira dan bernafas lega, kau perkuat barisan dan selalu memetik kemenangan,” Sesaat Khalifah Umar
teringat kepedihannya saat perang Uhud yang terjadi di bulan Syawal tahun ke 3 hijriyah itu, kemudian bertanya,”Apa yang membuatmu
yakin, barisan pemanah kaum muslimin akan bergerak menuruni Gunung Uhud?”
Terkejut Khalid mendengar pertanyaan tak terduga itu. Ia mengernyitkan kening dan berkata,” Kebanggaanku saat itu adalah
penyesalanku saat ini.”
“Betul. Dan kebangganmu hari-hari yang lalu, juga bisa menjadi penyesalanmu di akhirat nanti. Katakan lah, Khalid!” Desak Khalifah Umar.
“Baiklah kalau Anda memaksa”
jawab Khalid sambil menghela nafas. “Kami melihat barisan pemanah diatas
bukit Uhud itu sangat piawai. Tiap kali melepaskan anak panah, korban jatuh di
pihak Quraisy. Pasukan kavaleri yang sudah terlatih bergerak cepat menjadi
sia-sia. Tak akan pernah bisa kuda-kuda itu melesat melebihi kecepatan anak panah. Kemudian saya minta Abu Sofyan
mengubah taktik serangan. Pasukan infantri muda bertukar
alat perang dengan pasukan yang sudah senior. Mereka mengenakan alat-alat
perang yang bagus. Pedang, tameng, baju zirah yang berkualitas. Pasukan muda menjadi
lebih percaya diri. Mereka lupa bahwa, kemenangan pertempuran bukanlah pada
senjata.” Khalid menyeringai, kemudian melanjutkan.
“Akibatnya, pasukan muda itu berguguran. Alat-alat perang mereka berserakan. Pasukan Quraisy terdesak. Tapi satu hal yang saya yakini, ada dua peluang agar Quraisy bisa menang. Pertama, barisan pemanah suatu saat akan kehabisan anak panah. Peluang kedua, mereka bisa jadi akan merayakan kemenangan terlalu dini. Aku tahu sebagian besar mereka adalah barisan anak-anak muda. Belum banyak pengalaman bertempur," Khalid berhenti sejenak kemudian melanjutkan.
" Dugaan ku benar, mereka mabuk kemenangan dan akhirnya lengah. Tanpa menyadari seorang komandan kavaleri tidak melepaskan pandangan mata sedetikpun, menunggu saat yang tepat." Khalid tidak melanjutkan. Ia tidak mau saudara sepupunya itu larut dalam kenangan pahit ketika ratusan pasukan kaum muslimin gugur di medan Uhud.
Khalifah Umar tertegun. Tidak hanya larut dalam kesedihan, ia juga sedang memahami makna 'saat yang tepat' itu. Ketika beberapa pasukan pemanah mulai menuruni bukit Uhud, Khalid sedang menghitung kecepatan lari kudanya dan waktu yang dibutuhkan untuk membelah barisan pasukan muslimin. Ia butuh waktu untuk mencapai 50 pasukan pemanah yang sudah berada dibawah, sebelum mereka menyadari kesalahannya dan kembali ke posisi semula.
Dua orang ksatria terdiam dengan pikirannya masing-masing. Pikiran Khalifah Umar berkecamuk antara sedih dan kagum. Khalid sangat ditakuti lawan karena keahliannya itu. Ia mahir berkuda sembari kedua tanganya memainkan pedang. Kudanya ia kendalikan dengan kakinya. Dengan keahliannya itu, ia bisa membelah barisan pasukan lawan sehingga membuat formasi berantakan. Itu lah yang terjadi saat Perang Uhud. Ketika pasukan pemanah berhasil ia lumpuhkan seketika pasukan kafir Quraisy berbalik arah. Sebelumnya mereka melarikan diri dari kejaran kaum muslimin, kini berbalik dan ganti mengejar dan memporak-porandakan barisan kaum muslimin.
"Dan Kau yang menyebarkan berita bahwa Rasulullah telah gugur?" Tanya Khalifah Umar setengah berteriak.
Khalid terkejut, namun ia kemudian memahami perasaan saudara sepupunya itu sedang diliputi kenangan buruk.
"Saya kira itu lah yang seharusnya dilakukan untuk mempercepat kemenangan. Menghancurkan moral bertempur pihak lawan." jawab Khalid dengan suara pelan dan parau.
Kenangan Khalifah Umar kembali melayang ke Perang Uhud, saat Rasulullah terluka sangat parah. Terbayang kembali misi penyelamatan Rasulullah. Itulah upaya terakhir yang bisa dilakukan pasukan muslimin. Sekitar seratus muslimin syahid untuk menjadi perisai Rasulullah. Mata Khalifah Umar mulai berkaca-kaca. Namun kemudian tersenyum mengingat Rasulullah bisa diselamatkan hingga ke sebuah tempat persembunyian di Madinah.
Khalid bin Walid berangsur tenang. Kenangan perang Uhud, saat ia masuk Islam dan tergabung dengan pasukan muslimin, hingga saat-saat kemenangan demi kemenangan yang ia raih, seolah waktu diputar kembali begitu cepat. Kini ia dipecat menjadi prajurit biasa sehingga ia bisa melepaskan diri dari rutinitas. Perang.. perang.. perang, itu saja yang ia pikirkan selama ini.
"Adakah yang ingin Kau sampaikan lagi, wahai Khalid?" Tanya Khalifah Umar membuyarkan lamunannya.
"Tidak ada, wahai Khalifah. Saya akan segera kembali ke perbatasan Persia bergabung dengan pasukan kita." Jawab Khalid bin Walid tegas.
"Pasukan Persia yang tersohor itu bukan apa-apa bagimu. Kini musuhmu yang utama adalah hawa nafsumu." Khalifah Umar menyitir sabda Rasulullah ketika pulang dari perang Badar, kemudian melanjutkan.
"Perlu aku ingatkan kembali, wahai Khalid. Pemecatanmu ini sama sekali bukan karena kesalahanmu. Bahkan kekhilafanmu yang dulu sebelum masuk Islam sudah terhapus. Kekhilafan adalah bagian dari sejarah. Seringkali sebuah kekhilafan menimbulkan masalah besar. Tapi Allah punya rencana yang jauh lebih besar. Seperti kekhilafan barisan pemanah di Bukit Uhud yang menjadi pintu masuk bagi ratusan syuhada. Seperti kekhilafan Nabi Adam yang memakan buah kuldi sehingga membuat bumi ini penuh dengan anak turunnya." Khalifah Umar menutup pembicaraannya, "Berangkatlah, wahai Khalid."
Khalid bin Walid beranjak dari kursinya. Dua kesatria bersaudara sepupu berpelukan sesaat sebelum mereka berpisah. Dalam hal kedudukan dalam pemerintahan mereka berbeda jauh. Yang satu baru dibaiat menjadi khalifah. Yang lain baru dipecat menjadi prajurit biasa. Tapi ini hanyalah kedudukan duniawi yang fatamorgana. Jabatan sama sekali tak pantas diperjuangkan apalagi sampai berdarah-darah. Masing-masing memiliki peran. Tak ada yang lebih penting dari yang lain apabila semua serius dan tulus terhadap perannya. Setingkat maqom para sahabat Nabi ini, tak ada sedikit pun prasangka adanya kepentingan pribadi. Karena mereka telah selesai dengan diri pribadi.
Ketika pasukan penalukan Persia pulang dengan membawa kemenangan di pihak kaum muslimin, para prajurit baru menyadari bahwa Khalid bin Walid telah dipecat sebagai panglima saat perang berkecamuk. Mereka sangat heran, bagaimana Khalid tetap bertempur seperti biasa. Tak ada rasa kecewa sedikit pun. Pembagian tugasnya dengan Abu Ubaidah ternyata bukan hanya saat penalukan Persia, tapi jabatannya pun ternyata sudah berpindah.
Beberapa orang prajurit pun kemudian bertanya, "Wahai Khalid, dulu kau panglima yang sangat sibuk. Sudah lama aku ingin bertanya, bagaimana kau dulu begitu yakin bisa mengalahkan musuh-musuhmu yang jauh lebih kuat?"
Khalid bin Walid pun menjawab, "Sabda Rasulullah, perumpamaan orang yang dzikir dan yang tidak adalah seperti orang yang hidup dan yang mati (HR Bukhari). Maka aku menganggap mereka hanyalah orang-orang yang sudah mati."
Para prajurit itu pun bertanya kembali,"Mengapa kau masih tetap bertempur ketika kau sudah dipecat? Padahal dulu kau memimpin pasukan yang tak pernah terkalahkan dalam pertempuran? Tidak kah kau sakit hati?"
Dengan tegas Khalid menjawab," Aku berperang bukan untuk Umar. Bukan pula untuk mendapatkan jabatan. Bukan kah kau juga senang akhirnya kita bisa berbincang dengan leluasa?" Mereka pun serempak tertawa.
Sekian..
Catatan:
- Jarak Irak - Madinah menurut Google Map sekitar 1.400 km ditempuh berkuda (sprint 88 Km/jam) selama kurang lebih 16 jam.
- Sumber lain mengatakan, Abu Abaidah sebagai Panglima ditunjuk sebagai panglima pada Penalukan Persia karena beliau yang pertama merespon keinginan Khalifah Umar.
- Pendapat lain mengatakan: Saat Khalifah Abu Bakar yang cenderung lembut lebih cocok dengan Khalid bin Walid yang cenderung keras, sebaliknya saat Khalifah Umar yang keras lebih cocok dengan Abu Ubaidah bin Al Jarrah yang lebih lunak.
- Pendapat lain mengatakan, Sejak Abu Bakar menjabat khalifah, Umar sudah ingin memecat Khalid karena beberapa pelanggaran salah satunya terbunuhnya Malik bin Nuwairah saat penertiban zakat. Abu Bakar tidak sependapat sehingga Umar kemudian baru bisa memecat Khalid setelah beliau dibaiat sebagai Khalifah.
- Pendapat lain mengatakan, Khalid bin Walid diberikan jabatan gubernur hingga pensiun.
- Sumber lain mengatakan, korban yang gugur pada Perang Uhud di kalangan pasukan muslimin adalah 70 orang, yang lain mengatakan, lebih dari seratus pasukan muslimin gugur sebagai perisai saat menyelamatkan Rasulullah.
Wallahu A'lam bish showab..
Bahan bacaan:
- Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam
- Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir
- Sumber-sumber lain dari youtube, website dan podcast
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus