Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Antara Nasionalisme dan Profesionalisme

Rasa lapar semakin bergelora saat pesawat mendarat di bandara ini. Aku segera menghambur ke deretan gerai di bandara. Mata tertuju ke sebuah blok dengan banyak jenis kios, dari muali roti, makanan asing, sampai makanan lokal. Aku memilih makanan lokal yang asli dari pribumi. Pertimbangannya tidak hanya masalah selera tapi juga karena rasa nasionalisme. (Huh, sok patriot!)

Hidangan pun disuguhkan. Rasanya? Ahh.. padahal aku termasuk jenis manusia "pemakan segala". Tapi kali ini agak diluar batas toleransi. Baiklah.. Aku coba minta sesuatu yang bisa menambah selera. Sambal dan jeruk nipis, deh..

Aku coba memasang muka ramah, mohon pada pelayan untuk bisa memberikan sambal dan jeruk nipis. Tidak lama, pelayan menghampiri. Sambil terus berjalan dia menaruh pesananku itu di mejaku. Sebenarnya agak setengah dibanting, tapi aku berusaha memaafkan. Aku lihat tidak ada senyum sedikitpun dibibirnya. Menyedihkan! Baik lah, aku coba melupakan dan kembali ke hidanganku.

Aku ambil jeruk nipis yang tadi ditaruh di ujung meja ku. Oh my God! Jeruk nipis sudah menguning dan mengering. Usahaku untuk memerasnya tidak berhasil. Tak ada air setetespun yang bisa keluar. Seharusnya ini sudah tidak layak lagi diberikan ke pelanggan.

Dengan hati dongkol aku teruskan makan. Lapar ini sudah tidak bisa ditawar lagi. Untuk kali ini aku lebih peduli perut dari pada lidah.

Selesai makan aku mendatangi kasir. Selembar kertas dia sodorkan. Angka yang tertera masih setara dengan gerai orang asing di sebelah itu. Tidak murah juga. Sambil membayar aku melihat muka si kasir. Dia menerima uangku dan memberikan kembalian. Aku pastikan tak ada secuilpun senyum dibibirnya. Aku perhatikan dari tadi lewat ekor mataku.

Malam ini aku kembali mendarat di bandara ini. Aku menuju ke "gerai asing" di sebelah gerai yang dulu pernah aku singgahi. Perasaan berat hati agak terobati karena melihat label halal dari MUI.

Pelayan menyambut dengan ramah. Tentu sudah menjadi hal biasa. Singkat cerita, aku sudah mendapatkan pesananku. Sambil makan aku perhatikan gerak gerik para pelayan. Seorang anak kecil meminta tissue pada salah satu pelayan. Si pelayan pun mengambilkan tissue. Sambil jongkok dia memberikann tissue itu pada anak kecil. Saat mata mereka bersitatap, senyum yang tulus menghias bibirnya. Indah sekali!

Aku lemparkan pandangan ke "gerai pribumi" yang dulu aku singgahi. Tampak sepi seperti dulu. Sedih. Mengapa kita bekerja setengah hati.


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Posting Komentar untuk "Antara Nasionalisme dan Profesionalisme"