Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Status pangan dan irigasi Jember menuju 2045

 

Hari Pangan sedunia adalah sebuah momentum untuk mengevaluasi sejauh mana antisipasi terhadap krisis pangan. Berbicara masalah pangan di Indonesia tidak bisa lepas dari masalah beras. Selain menjadi makanan pokok bagi sebagian besar penduduk, produksi beras juga menjadi fokus pemerintah. Sebagian besar pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi terutama untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya beras.

Kabupaten Jember termasuk 5 besar kabupaten yang paling berkontribusi terhadap surplus beras Jawa Timur. Tapi bagaimana dengan Jember di tahun 2045? Apakah masih bisa diandalkan menjadi lumbung pangan nasional? 

Mengapa Jember harus surplus beras? Perlu diketahui, dalam mendukung produksi beras, Jember memiliki prasarana irigasi yang cukup memadai. Namun dari 86 ribuan Ha layanan irigasi, 62,7 persen adalah kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Sisanya seluas 37,3 persen kewenangan Kabupaten Jember. Tentunya hal yang wajar jika pemerintah pusat dan provinsi Jawa Timur berharap Jember bisa diandalkan dalam mendukung surplus beras nasional.

Besaran surplus beras adalah jumlah produksi dikurangi konsumsi. Kemampuan memproduksi beras sangat dipengaruhi oleh prasarana dan sarana pertanian. Prasarana pertanian, yaitu lahan dan air. Sedangkan sarana pertanian yaitu, bibit, pupuk, pestisida dan alat mesin pertanian. Faktor luas panen dan produktivitas menjadi penentu jumlah produksi. Sebagai contoh di Kabupaten Ngawi pada 2021, angka produksi padi tertinggi di Jawa Timur, meskipun luas panen hanya di urutan ketiga.

Dari aspek usaha, petani sebagai produsen akan tetap berminat memproduksi padi selama masih ada keuntungan pada usaha tersebut.  Untuk itu, faktor pengolahan pasca panen dan pemasaran dimasukkan ke dalam program usaha tani. Paradigma yang semula adalah panca usaha tani berkembang menjadi sapta usaha tani. 

Singkat kata, meskipun produksi padi berlimpah, jika harga gabah jatuh, petani sebagai produsen akan berpikir ulang untuk tetap berusaha tani padi. Alih-alih mewariskan usaha tersebut kepada anak-anaknya, bisa jadi dia akan segera menjual lahannya. 

Selain problem pupuk pestisida yang seperti lagu lama, masalah air irigasi pun sebenarnya membuat biaya produksi padi bisa membengkak. Terutama saat musim kemarau, banyak permainan dalam pembagian air karena terbatasnya petugas irigasi di lapangan. Kehandalan jaringan irigasi pun makin menurun. Pilihan lain adalah petani terpaksa menggunakan pompa air yang tentunya ada biaya bahan bakar. 

Kebutuhan beras terus meningkat

Pertumbuhan jumlah penduduk adalah sebuah keniscayaan. Sementara luas lahan tidak akan pernah bertambah, bahkan lahan pertanian cenderung berkurang karena meningkatnya kebutuhan lahan pemukiman dan usaha non pertanian. Alih fungsi lahan pertanian pun tak terhindarkan. Tentunya harus terus dikendalikan.

Produktivitas padi dan luas panen juga belum ada peningkatan signifikan. Data Pusdatin Kementan RI menyebutkan bahwa produktivitas padi di Jember dari tahun 2000 hingga 2020 berfluktuasi, antara 48 kw/Ha hingga 61 Kw/ Ha, dengan rata-rata 52 Kw/ Ha. Terakhir pada 2023, angka BPS menunjukkan produktivitas padi Jember di angka tertinggi, yaitu 62 Kw/ Ha untuk pertama kalinya. Adapun luas panen pada kisaran 130 ribu hingga 165 ribu Ha, dengan rata-rata adalah 138 Ha.  Artinya, Indeks Pertanaman (IP) padi jember hanya di angka 160, atau hanya 1,6 kali tanam padi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada musim hujan, tidak semua lahan sawah bisa ditanami karena terjadi genangan/banjir. Pada musim kemarau (MK) 1, ketersediaan air sudah berkurang. Puncaknya, pada MK 2, air menjadi barang langka. Walhasil, selama 3 musim tanam bahkan Jember tidak sampai 2 kali tanam padi. 

Fakta-fakta diatas penting untuk menjadi bahan pemikiran tentang keberlanjutan pertanian pangan di Jember. Grafik produksi dan konsumsi beras pada suatu waktu bisa bertemu. Berharap hal tersebut sudah dibahas dalam Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025-2045. Tentunya perlu pengejawantahan dalam RPJMD dan program kegiatan secara konsisten. Masalah pangan sudah selayaknya menjadi Cross Cutting Issue (isu lintas sektor)  berdampingan dengan isu lingkungan hidup dan anomali iklim (global warming).

Rekomendasi

Setidaknya ada 2 hal penting untuk menjaga keberlanjutan produksi padi untuk jangka panjang. Pertama, menjamin ketersediaan prasarana produksi pangan, yaitu lahan dan air. Dua hal ini terkait erat dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Lahan dan air perlu dialokasikan dalam pengelolaan tata guna lahan, yang tentunya mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Dalam hal teknis irigasi, perlu komunikasi yang baik antara pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat.

Kedua, menjaga marjin keuntungan usaha tani padi. Biaya produksi padi harus ditekan sedangkan harga gabah harus dijaga. Harga beras di Indonesia adalah tertinggi di ASEAN, akan tetapi petani sebagai produsen tergolong belum sejahtera. Hal ini karena biaya produksi yang sangat tinggi. Perlu adanya terobosan baik dalam hal kebijakan maupun inovasi teknologi. Intervensi pemerintah ini diantaranya untuk menekan biaya produksi, meningkatkan produksi dan produktivitas, menjaga harga gabah stabil, meningkatkan nilai ekonomi dengan pengolahan pasca panen maupun dari output lain yang semula dianggap sebagai limbah pertanian. Upaya ini harus dilakukan sehingga usaha tani padi tetap menarik, terutama bagi generasi penerus.

Posting Komentar untuk "Status pangan dan irigasi Jember menuju 2045"