Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Babak baru kebijakan pengelolaan irigasi dan keterlibatan petani


Pengelolaan irigasi tentu sangat membutuhkan keterlibatan petani. Pemerintah sebagai penyedia dan petani sebagai penerima manfaat harus selalu bersinergi baik dalam operasi maupun pemeliharaan (OP) irigasi. Untuk diatur sebuah hubungan kelembagaan, yaitu melalui P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) yang diatur oleh Permen PU. Di daerah Jawa Timur menggunakan istilah HIPPA (Himpunan Petani Pemakai Air), di Jawa Barat dengan P3A Mitracai, di Jawa Tengah dengan P3A Dharma Tirta, dan seterusnya.  Kesemua istilah tersebut saya kira merujuk pada keberhasilan kelembagaan Subak di Bali yang berbasis adat dan budaya Bali.

Keterlibatan petani dalam pengelolaan irigasi mengalami berbagai dinamika sejak jaman kerajaan hingga sekarang. Di jaman kerajaan, petani menjadi inisiator pembangunan hingga pengelolaan irigasi. Kerajaan hanya menjadi pendukung saja. Hal ini bisa dilihat pada kelembagaan Subak di Bali. Mereka punya wilayah otonom. Pemimpin tertinggi subak (pekaseh) adalah seorang tokoh adat yang memiliki kewenangan penuh terhadap pelaksanaan aturan dalam pengelolaan subak.

Pada era kolonial Belanda, pengelolaan irigasi lebih didominasi oleh penjajah. Pasca kemerdekaan, di era orde baru, pemerintah menggenjot infrastruktur irigasi habis-habisan. Kebetulan pasca perang dunia kedua, seluruh dunia  konsentrasi untuk menanggulangi bahaya kelaparan. Walhasil Indonesia juga dapat banyak  bantuan (baca: utang) untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur irigasi. 

Belum lama orde baru tamat, dan masih dijabat oleh Bpk BJ Habibie, Pemerintah RI berupaya menggeser beban pengelolaan irigasi ke petani, yaitu melalui kebijakan Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI). Pilar utamanya adalah pemberdayaan petani, bahkan jika (kelembagaan) petani mampu, pemerintah akan melakukan penyerahan pengelolaan irigasi (PPI).  Bagaimana hasilnya? Memang ada P3A, Gabungan P3A, atau Induk P3A yang mengelola satu daerah irigasi, tetapi peran pemerintah masih sangat mendominasi. Sepertinya belum ada sistem irigasi sebagus Subak, dimana peran petani sangat dominan. Belum lagi antar sektor pemerintah yang masih belum sinkron, antara PUPR, Pertanian, Perikanan, Pariwisata, Kehutanan, yang saling tarik menarik sehingga justru kontraproduktif terhadap pelayanan irigasi. Urusan pembinaan P3A bahkan sempat mandeg karena terbit aturan dari Kementan (Permentan 79/2012) tapi tidak segera diikuti implemetasinya melalui program.  Perkembangan selanjutnya, diadakan lomba P3A tingkat nasional dibawah kementan, akan tetapi materi lomba termasuk juga aspek usaha tani (lebih identik dengan  kelompok tani).

Babak baru pengelolaan irigasi

Melihat kondisi yang belum juga ada perkembangan berarti, rupanya ada wacana untuk menarik kembali  kewenangan petani, yang sebelumnya diberi peran untuk mengelola jaringan irigasi tersier kini petani hanya "dihimbau" untuk terlibat aktif saja. Tak ada kewajiban petani untuk mengelola jaringan irigasi tersier.  Jika ada kerusakan di bagian tersebut, pemerintah harus mendata dan melakukan rehab tanpa menunggu usulan dari petani. Mungkin kewenangan petani bergeser ke jaringan kuarter. Untuk lebih lengkapnya, silahkan klik Rancangan Peraturan Pemerintah tentang irigasi, yang sudah diusulkan sejak 2022 namun hingga artikel ini ditulis belum ada kabar kelanjutannya. 

Pada rancangan peraturan tersebut juga termuat perubahan kriteria kewenangan pengelolaan irigasi, antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten terkait dengan luas layanan. Semula daerah irigasi yang memiliki layanan seluas diatas 3000 Ha menjadi kewenangan pusat, 1000 hingga 3000 Ha menjadi kewenangan provinsi dan dibawah 1000 Ha menjadi kewenangan kabupaten. Seiring dengan banyaknya areal sawah yang menyusut, kriteria luas layanan berubah. Luas layanan dibawah 500 Ha menjadi kewenangan kabupaten, luasan 500 hingga 2000 Ha menjadi kewenangan provinsi, 2000 Ha keatas kewenangan pusat. Walhasil, jika luas areal sawah menyusut hingga dibawah 1000 Ha, masih tetap menjadi kewenangan provinsi selama tidak sampai di bawah 500 Ha. Sebaliknya, areal sawah yang dulu kewenangan kabupaten yang diatas 500 Ha akan menjadi kewenangan provinsi. Ini akan merubah pola pengelolaan yang selama ini sudah berjalan terseok-seok.

Pengelolaan irigasi pada kenyataannya sangat rumit. Pelayanan irigasi belum akan berkinerja baik jika belum banyak pihak yang memahami hingga ada dukungan yang nyata dari hulu hingga hilir. Sementara air irigasi adalah prasyarat usaha tani padi yang notabene butuh pelayanan irigasi yang handal. Bagaimanapun kebijakan nantinya, petani butuh pelayanan irigasi sehingga biaya produksi padi bisa ditekan. Kita yang masih mau makan nasi dan menolak impor beras, harus memahami hal ini.

Wallahu A'lam bishowab,  



Posting Komentar untuk "Babak baru kebijakan pengelolaan irigasi dan keterlibatan petani"