Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Moralitas Politik



Hadits Nabi:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.


 ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) 

Hadist ini sangat familiar bagi umat Islam, namun rasanya perlu diangkat sebagai pengingat kita setelah melewati pesta demokrasi yang masih hangat dibicarakan.  

Melakukan "perubahan dengan tangan" adalah identik dengan kekuasaan, karena secara logika sederhana, tidak ada yang dapat mengubah sesuatu kemungkaran dengan mudah tanpa perlawanan. Namun dengan kekuasaan (power) , semua kemungkaran bisa ditindak tegas. 

Kata "kemungkaran" dalam konteks muamalah berbangsa dan bernegara adalah segala kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan kedholiman terutama kepada kaum lemah. Segala bentuk kemungkaran ini menyalahi misi Islam yang rahmatan lil alamin, rohmat bagi seluruh alam. 

Kembali kepada hadits diatas, jika diurutkan iman dari yang paling lemah hingga yang paling kuat, ketika menghadapi kemungkaran, menjadi (1) orang yang hanya mengingkari dalam hati identik dengan orang awam/ rakyat, meskipun hati nurani menolak tapi tidak bisa berbuat banyak (2) orang yang menentang dengan bersuara, identik dengan kaum terpelajar/ agamawan, berkhotbah diatas mimbar, berteriak diatas  podium, menulis di koran, nge-twit di twitter, dsb (3) penguasa yang bertindak dengan kebijakan atau wakil rakyat yang merumuskan dan menge-goalkan sebuah aturan yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.

Kedudukan yang paling tinggi inilah yang seharusnya menjadi motivasi para calon-calon pemimpin untuk merebut kekuasaan. Bukan sebaliknya, motivasi untuk melanggengkan dan menambah tinggi tumpukan hartanya atau menambah tinggi kehormatannya. 

Namun, pilihan untuk memberantas kemungkaran tentunya adalah sebuah pilihan yang tak mudah. Ini sebuah jalan yang cadas berbatu. Seringkali harus mengambil kebijakan yang tidak populis ketika harus menegakkan kebenaran dan keadilan. Harus dipahami bahwa, masyarakat awam adalah mayoritas. Tidak semua kebijakan bisa dipahami dalam waktu singkat. Hanya sedikit orang yang bisa memahami dan menyadari akar permasalahan yang paling mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Oleh karena itu lah, dalam merumuskan kebijakan harus dikaji mendalam, melibatkan para cerdik pandai, bukan hanya memenuhi aspek popularitas saja. Dengan kata lain, kebijakan harus berbasis pada kebenaran dan keadilan, bukan HANYA karena mengakamodasi kepentingan. Ketika politik menjadi panglima, menjadi dasar setiap langkah kebijakan, maka pembangunan hanyalah bagaikan membangun istana pasir. Tanpa pondasi yang kuat dan hanya akan menghamburkan anggaran yang kelak akan luluh lantak di terpa ombak (pilkada berikutnya). Ini hanya akan melanggengkan kebodohan, masuk dalam lingkaran setan politik, antara balas dendam dan balas jasa.

Inilah bagian tersulit seorang pemimpin. Di samping mengakomodir kepentingan, yang lebih dikedepankan adalah kebenaran dan keadilan. Tentunya “kebenaran” akan kabur ketika berasal dari pihak yang berkepentingan. Dibutuhkan hati yang jernih dari seorang pemimpin untuk bisa membawa amanah yang berat ini. Namun apabila sang pemimpin hanya mengharap ridho Allah, maka tekanan apapun dan dari manapun bukan lah sebuah hambatan. Hujatan dan pujian sekalipun tidak berarti apapun ketika sudah menetapkan hati yang tulus ikhlas. 

Semoga para pemimpin kita dianugerahi hikmat kebijaksanaan, ketetapan dan ketulusan hati untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Pemimpin yang adil kelak di hari kiamat, seperti disebutkan dalam hadits Nabi yang lain, akan mendapatkan naungan dari Allah. Amin ya robbal ‘alamin..


Posting Komentar untuk "Moralitas Politik"