Saksi kehidupan Nabi SAW yang masih hidup hingga kini
Sumber: Google Map |
Jarak dan waktu telah jauh memisahkan kita dengan masa kehidupan Nabi Muhammad SAW. Ada jarak sekitar 8 ribu km dan 15 abad yang lampau. Tapi kita masih bisa menemukan saksi hidup. Tentu bukan manusia, tapi sebuah pohon yang masih hidup hingga kini. Pohon itu ada yang menamakan Pohon Sahabi karena dia lah satu-satunya “sahabat” Nabi Muhammad SAW yang masih hidup.
Kalau pun belum bisa kesana, kita bisa menemukannya di Google Map sekedar mengobati kerinduan. Pohon itu berada di wilayah Yordania, berjarak perjalanan 2 jam dari Amman, dengan nama Tree of Al Buqayawiyya (The Blessed Tree)- شجرة البقيعاوية .
Silahkan dilihat di Google Map disini.
Untuk mengenang kisah Nabi Muhammad SAW, yang saat itu menginjak usia remaja 12 tahun, ikuti kisah berikut ini:
====================
Siang itu udara terasa sejuk. Hawa segar yang tidak biasa. Hamparan gurun As Safawi yang biasanya panas menyengat, mendadak berubah. Matahari meredup. Semilir angin menerpa satu-satunya pohon di tengah hamparan gurun pasir itu. Mempermainkan ranting dan dedaunan hingga melambai-lambai.
Tidak jauh dari pohon itu, sebuah biara sederhana yang ditinggali seorang pendeta tua, Pendeta Buhaira. Sejak pagi ia tampak gelisah. Beberapa kali ia berjalan mondar-mandir keluar masuk biara. Sesekali ia melempar jauh pandangan ke hamparan gurun yang luas, seperti menanti kedatangan seseorang.
Sudah seminggu ini Pendeta Buhaira bermimpi tiap malam. Seorang remaja berusia 12 tahun akan datang. Bukan remaja biasa. Dia lah yang kelak dewasa mendapat tugas dari Sang Maha Pencipta. Membawa risalah untuk seluruh umat manusia.
Sebagai penganut Kristen Nestorian yang taat, Pendeta Buhaira sangat meyakini akan datangnya nabi akhir zaman. Sebuah wacana yang sudah umum di kalangan ahli kitab, Yahudi dan Nasrani. Namun tidak semuanya menanggapi positif. Ada yang malah justru merasa terancam akan pudarnya pengaruh dan kekuasaannya.
Pendeta Buhaira tersentak melihat sesuatu di kejauhan. Seketika ia bangkit dari kursinya di emperan biara. Sebuah awan tampak berjalan menuju kearahnya. Meski berjalan lambat, pendeta tua yakin, itu adalah sebuah pertanda.
Beberapa saat kemudian, Pendeta Buhaira tersenyum lebar. Dugaannya terbukti benar. Dari balik bukit gurun pasir, di bawah awan itu muncul serombongan kafilah dagang. Puluhan orang anggota kafilah itu tidak menyadari, bahwa awan itu sebenarnya selalu menaungi mereka. Lebih tepatnya, menaungi manusia agung yang berada di antara mereka.
Tak lama kemudian mereka sampai di dekat pohon dan mengikatkan unta-untanya. Beberapa orang mulai menggelar permadani untuk sekedar untuk melepas lelah dan dahaga.. Pendeta Buhaira pun menghampiri dan menyapa mereka.
“Wahai kisanak, apakah kalian kafilah dagang dari Mekah?” tanya Pendeta Buhaira.
“Iya, betul!” jawab beberapa orang hampir bersamaan.
“Kalian tentu haus dan lapar, aku punya beberapa makanan untuk kalian,” kata Pendeta Buhaira menawarkan.
Mendengar kata “makanan minuman”, beberapa orang terkesiap dan menoleh. Persediaan logistik makin menipis, sementara masih butuh waktu 2 hari lagi perjalanan untuk sampai ke Negeri Syam. Sesaat mereka bersitatap. Tanpa menunggu aba-aba lagi, mereka bangkit dan bergegas menuju ke arah yang ditunjuk Pendeta Buhaira. Sebuah biara sederhana.
Tak lama kemudian mereka sudah berkumpul di ruangan beralaskan permadani. Berbagai sajian dihidangkan. Mereka makan dengan lahap. Pendeta Buhaira menyapu pandangan ke arah mereka. Sambil mengernyitkan kening, ia bertanya,”Sepertinya ada yang belum masuk kesini?”
Salah seorang menjawab,”Oya, betul, Pak Pendeta. Muhammad. Dia masih menjaga onta-onta dan barang dagangan kami. Sebentar lagi akan kami gantikan”
Pendeta Buhaira tampak sangat kecewa, dan memohon, “Kalau begitu, ijinkan kami menggantikannya. Supaya dia bisa makan bersama saudara-saudara”
Mendengar tawaran itu, beberapa tampak saling berpandangan. Tapi ada suara berseru memecah keheningan.
” Baiklah, Pak Pendeta. Silahkan gantikan posisinya” Abu Thalib, kepala kafilah berkata dengan tegas. Sang Paman yang sedari tadi gelisah akhirnya bisa bernafas lega. Keponakannya bersikeras untuk menjaga unta. Sementara yang lain sudah berhamburan masuk biara tanpa ada yang tersisa.
Pendeta Buhaira segera memanggil salah satu muridnya, dan menyuruh untuk menggantikan Muhammad yang sedang menjaga unta. Seorang murid bergegas menuju pohon, tempat onta-onta berteduh. Dari kejauhan pendeta tua itu terus mengamati.
Seorang remaja sedang membereskan barang-barang. Memberi makan unta. Memeriksa perlengkapan. Semua itu tak luput dari pandangan Pendeta Buhaira. Sepasang mata keriput itu terus mengikuti dari kejauhan.
Pendeta Buhaira terkesima dengan aura yang memancar dari remaja itu. Apalagi setiap kali ia bergerak, ranting-ranting pohon itu pun ikut bergerak memayungi dengan dedaunannya. Orang awam mungkin hanya menganggap peristiwa biasa karena memang siang itu cukup berangin.
Sang murid tampak sudah mendekat dan mulai berbincang dengan remaja itu. Tak lama, sang muridpun menggantikan posisinya. Keponakan Abu Thalib itu tampak hormat dan pergi meninggalkannya. Sesaat kemudian saling tegur sapa dengan Pendeta Buhaira dan kemudian bergabung dengan pamannya dan para anggota anggota kafilah.
Usai makan bersama dan beramah tamah, kafilah pun berpamitan hendak meneruskan perjalanan. Tapi Pendeta Buhaira menahan Abu Thalib, sang pemimpin kafilah dan mengajak bicara dengan serius.
“Wahai kisanak. Dengan segala hormat aku mohon kepadamu, jangan lah kau terus kan perjalananmu ke negeri Syam.”
Abu Thalib terperanjat mendengar permintaan itu.
“Pak Pendeta! Aku sudah berjalan 11 hari melintasi gurun pasir yang panas menyengat. Dua hari lagi sampai Syam. Mengapa harus aku urungkan perjalanan ini?” ujar Abu Thalib.
“Dengar wahai kisanak. Anak yang kau bawa itu bukan anak sembarangan. Perjalanan ke Syam sangat berbahaya. Percayalah! Seluruh daganganmu itu tak ada artinya dibandingkan dengan anak itu.” kata Pendeta Buhaira dengan nada memohon.
“Tentu saja, anakku tak dapat dibandingkan dengan apapun di dunia ini. Aku pun berdagang untuk menghidupi keluargaku,” kata Abu Thalib.
“Itu bukan anakmu. Berkatalah dengan jujur!” Sergah Pendeta Buhaira
“Maksudku, dia seperti anakku sendiri.” kata Abu Thalib dengan berat hati mengatakan yang sebenarnya. “Bahkan melebihi,” lanjutnya pelan.
Pikiran Abu Thalib melayang. Ia merasa sangat menyayangi Muhammad, bahkan melebihi anak-anaknya sendiri.
“Dengar Kisanak. Anak itu memang istimewa. Anda tidak salah. Karena dia lah yang nanti akan membawa risalah. Firasatku mengatakan, anak ini lah yang disebut dalam ajaran ku sebagai Nabi Akhir Zaman.” Pendeta Buhaira menjelaskan.
Abu Thalib tak mampu berkata-kata.
Pendeta Buhaira melanjutkan, “Kalau Anda tidak percaya, panggil lah dia. Kita lihat, apakah ada tanda kenabian di punggungnya”
Seketika Abu Thalib bergegas berjalan menemui keponakannya di luar. Diajaknya masuk menemui Pendeta Buhaira. Setelah dua orang itu mengajukan permintaan, sang keponakan pun bersedia menunjukkan punggungnya. Tampak sebuah tanda seperti bekam berada tepat ditengah bahunya. Abu Thalib terbelalak. Ia kemudian mempersilahkan keponakannya untuk kembali ke kafilah.
Dengan terbata-bata, Abu Thalib berkata,”Pak Pendeta, aku percaya apa yang Anda katakan. Aku akan kembali ke Mekkah. Terima kasih sudah memberitahuku”
“Baiklah, Kisanak. Jagalah dia. Semoga umurku masih ada ketika nanti dia diangkat menjadi Nabi.” Pendeta Buhaira berkata lirih. Kemudian melanjutkan.
"Masih ada makanan yang tersisa. Bawalah untuk bekal pulang ke Mekkah."
Pada riwayat yang lain dikatakan bahwa, ada 7 orang Yahudi yang mencegat Muhammad remaja di negeri Syam untuk membunuhnya. Mereka telah mendengar kabar tentang nabi akhir zaman. Tapi mereka menolak keberadaannya karena akan mengganggu eksistensi kaumnya. Rencana pembunuhan itu akhirnya gagal, karena ternyata kafilah Abu Thalib tidak jadi melanjutkan perjalanan ke Syam.
******________Sekian________******
Referensi dan Analisa :
- Pada peta google menggunakan rute perjalanan dengan mobil, karena ketika menggunakan “jalan kaki” diarahkan melewati Kuwait-Karbala-Damaskus. Asumsinya, rute mobil sekarang adalah rute lalu lintas jaman dahulu kala. Jarak rute dari Mekkah ke Pohon Sahabi adalah 1.650 km, dari Mekkah ke Damaskus adalah hampir 2.000 km. Silahkan cek tautan rute google map berikut.
- Beberapa sumber menyebutkan bahwa Negeri Syam adalah suatu wilayah yang sekarang meliputi Palestina-Yordania-Suriah (Levant). Jika ditelaah, Kota Damaskus Ibukota Suriah, dalam bahasa Arab adalah “Syam”. Damaskus juga termasuk kota kuno yang sudah dikenal sejak abad ke 15 SM. Asumsi saya, Damaskus lah yang dimaksud Syam pada kisah diatas. Lihat tautan berikut.
- Suriah termasuk jalur sutra kuno (130 SM - 1453 M) jika dilihat di peta merupakan persimpangan 3 Benua, yaitu Asia-Eropa-Afrika. Pantaslah jika Suriah saat itu merupakan jalur perdagangan internasional yang ramai. Sebuah sumber menyebutkan bahwa jalur sutra (darat) adalah di Kota Palmyra, Suriah berjarak 252 km dari Damaskus. Silahkan lihat Tautan 1 dan tautan 2 (youtube).
- Kabar akan datangnya Nabi Akhir Zaman di kalangan ahli kitab, selain dari berbagai riwayat juga terdapat pada Al Quran, SuratAl Baqarah 146 dan Ash Shaff 6.
- Nama ilmiah Pohon Sahabi adalah Pistacia Atlantica, tumbuhnya sangat lambat dan bisa berumur lebih dari seribu tahun. Batangnya butuh waktu 200 tahun untuk bertambah lebar 1 meter. Silahkan lihat tautan berikut.
Posting Komentar untuk "Saksi kehidupan Nabi SAW yang masih hidup hingga kini"