Konflik Kepentingan dalam memegang kekuasaan
Suatu ketika Rasulullah SAW bersabda:
والله الذى نفسى بيده، لو أن فاطمة بنت محمد فعلت لقطعت يدها
Demi dzat yang jiwaku ditanganNya, jika Fatimah berbuat seperti itu (mencuri) maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.
Pernyataan Nabi Muhammad SAW yang sangat tegas disabdakan ketika seorang sahabat, Usamah bin Zaid yang coba melobi agar meringankan hukuman bagi anak ketua suku. Usamah bin Zaid adalah anak Dari Zaid bin Haritsah, putra angkat Nabi SAW. Kedatangannya juga karena diminta oleh warga suku yang tidak mau anak kepala suku dieksekusi, hukuman potong tangan.
Sebagai pemimpin dan pemegang kekuasaan, Rasulullah SAW bersumpah dengan tegas, hukum harus dijalankan tanpa pandang bulu. Pernyataan sumpah seperti itu menunjukkan bahwa Nabi SAW sangat serius. Kedua, dengan mengandaikan Fatimah putri terkasih Nabi SAW, beliau meyakinkan bahwa benar-benar tidak ada konflik kepentingan dengan hukum yang berlaku. Hubungan Fatimah dan Nabi SAW adalah hubungan anak dan ayah yang terbesar di dunia ini. Kaum kafir quraisy pun mengakui, hubungan mereka tak ada duanya. Fatimah kecil bahkan pernah menghardik dengan lantang pada segerombolan kafir Quraisy yang menghina ayahnya.
Kekuasaan adalah Amanah
Seorang penguasa tentu punya kekuasaan bisa melakukan apa saja. Kekuasaan diperlukan untuk “memaksa” warga masyarakat mengikuti aturan. Tanpa ada sebuah “pemaksaan” yang terjadi adalah hukum rimba, siapa kuat dia menang. Aturan yang ada hanyalah anjuran atau himbauan yang sifatnya pilihan. Tak akan ada wibawanya.
Namun jika kekuasaan dijadikan alat oleh penguasa, yang terjadi adalah sebaliknya. Kerusakan tatanan kehidupan bermasyarakat sekaligus turunnya kewibawaan penguasa dan keduanya saling berkelindan. Apakah penguasa tidak punya kepentingan? Jelas punya. Semua manusia yang masih bernafas pasti punya kepentingan, tidak bisa dipungkiri. Tapi kepentingan dari manusia yang sedang memegang kekuasaan itu tidak boleh sama sekali memanfaatkan kekuasaan, jika dia amanah.
Kekuasaan di negara demokrasi
Di negara demokrasi, setiap warga yang dipandang mampu berpikir dengan akal sehat punya hak memilih pemimpin. Di Indonesia, warga yang berhak memilih setidaknya berusia 17 tahun. Di berbagai negara memiliki batasan usia yang berbeda-beda. Bahkan di Singapura, usia warganya yang diberikan hak untuk memilih adalah berusia minimal 21 tahun. Perdebatan ini menunjukkan bahwa demokrasi juga akan membuka perang propaganda. Perang membutuhkan pasukan, dana dan/ atau komitmen-komitmen tertentu. Akibatnya, penguasa baru di negara demokrasi sudah punya “tanggungan” selain amanah yang harus diemban.
Penyalahgunaan kekuasaan/ wewenang menjadi sangat rentan. Tidak hanya kebutuhan pribadi penguasa tapi juga karena komitmen-komitmen yang telah dibuat. Bagi para elit politik dan para kroni sudah menyadari resiko jika kalah. Namun bagi khalayak publik, tidak semua akan mengikuti setiap detail perjalanan pemerintahan. Dampak dari pertarungan politik itu pun tidak signifikan merubah tatanan secara mendadak. Tapi secara jangka panjang, perubahan kualitas kehidupan itu pasti. Disadari atau tidak, generasi-generasi berikutnya akan merasakan dampaknya.
Kolaborasi Ulama dan Umaro, bukan hanya simbol
Jika umaro adalah pemegang kekuasaan untuk mengemudikan kendaraan, maka ulama adalah arah dan tujuan perjalanan. Ulama adalah rambu-rambu di setiap ruas jalan. Jika tidak mau menghiraukan ulama, maka pengemudi akan ugal-ugalan dan brutal.
Siapakah yang dikatakan ulama? Apakah hanya para kyai yang menguasai ilmu agama yang mendalam?
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28)
Dari segi bahasa, ‘ulama dari kata dasar ‘ilm (ilmu). Di kamus bahasa arab, ulama adalah ilmuwan/ cendekiawan. Maka siapa pun yang memiliki ilmu yang dengan ilmunya itu membuatnya “takut” kepada Allah, itulah ‘ulama sebagaimana firman Allah SWT. Silahkan melihat detail tafsir pada daftar bacaan di bawah.
Ulama atau cendekiawan memiliki tanggung jawab memberikan rambu-rambu pada penguasa yang sedang menjalankan roda pemerintahan. Jangan sampai ulama mendatangi umaro untuk bernegosiasi atau bahkan memberikan stempel. Ulama, ilmuwan atau cendekiawan lah yang merumuskan standar dan batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Tidak semua hal bisa ditransaksikan dalam negosiasi politik. Butuh rambu-rambu, arah dan tujuan perjalanan, berdasarkan ilmu, riset, dan kebijaksanaan dari mereka. Semuanya tentu bermuara kepada baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.
Wallahu a’lam bisshowab.
Daftar Bacaan:
- https://nu.or.id/hikmah/ketika-nabi-eksekusi-maling-putri-pembesar-L3Pid
- https://islamdigest.republika.co.id/berita/rdsaur430/nabi-muhammad-dan-sayyidah-fatimah-hubungan-ayahanak-yang-sempurna
- https://en.wikipedia.org/wiki/General_elections_in_Singapore
- https://islamqa.info/id/answers/52817/penafsiran-firman-allah-taala-
Posting Komentar untuk "Konflik Kepentingan dalam memegang kekuasaan"