Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembangunan berkelanjutan di era otonomi daerah

Indonesia adalah satu dari 193 negara yang berkomitmen menerapkan hasil sidang PBB 2015 tentang Sustainability Development Goals (SDGs). Komitmen ini telah di rilis kembali menjadi “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” (TPB) yang juga  termuat dalam RPJMN 2020-2024. Terdapat 169 target dengan 241 indikator untuk dapat mewujudkan 17 poin TPB.

Pemerintah kabupaten/ kota menjadi kunci utama keberhasilan capaian 17 TPB tersebut. Seringkali di era otonomi daerah ini dengan kewenangannya, pemerintah kabupaten/ kota harus mengejar target pembangunan daerah yang kemudian disimplifikasi menjadi capaian PAD (Pendapatan Asli Daerah). Di samping itu, karena begitu besarnya biaya politik lima tahunan membuat kepala daerah terpilih harus berfikir ekstra keras. Konsentrasi kepala daerah terbagi menjadi dua yaitu, antara mengakomodasi kepentingan sesaat pasca pilkada atau kepentingan jangka panjang bagi daerah. Pihak-pihak pemilik dana yang sudah “berinvestasi” tentu berharap ada imbal balik. Sebagai gantinya, segala hal ditempuh agar terjadi efisiensi bagi perusahaan. Suka tidak suka, kepala daerah terpilih juga harus membayar “investasi politik” tersebut. Biaya mahal ini tidak jarang harus dibayar oleh masyarakat, mulai dari pencemaran air, tanah dan udara, bahkan hingga bencana banjir dan longsor akibat rusaknya lingkungan.


Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan Ombudsman agar proses perijinan tidak perlu sampai ke tingkat kepala daerah. Sebagai contoh di Kabupaten Jember, penerbitan izin cukup sampai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) sesuai dengan himbauan Ombudsman Jatim. Semangat ini tentu bertujuan baik, yaitu memangkas rantai birokrasi, meminimalisir praktek pungli, dan meningkatkan iklim investasi. Namun demikian, pemangkasan birokrasi perizinan jangan sampai turut memangkas substansi penerbitan izin, yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.



Kebijakan "pelonggaran perizinan" di Jember ini menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan lingkungan dalam jangka panjang. Namun kekhawatiran itu baru-baru ini telah mendapatkan jawabannya. Pada Kamis, 10 Juni 2021, Bupati Jember meresmikan dimulainya pertemuan (Kick-off Meeting) Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam penyusunan RPJMD. Ini adalah indikasi bahwa Bupati Jember tidak hanya konsen terhadap rencana jangka menengah (sesuai visi misi bupati) saja namun juga peduli dengan pembangunan berkelanjutan di wilayah kabupaten Jember.

Materi pada kegiatan ini bisa didownload di sini.


Sebenarnya, pada hari sebelumnya juga telah dimulai pembahasan penyusunan D3TLH yang nantinya akan digarap secara simultan. Pekerjaan ini digawangi seorang pakar dari UGM, Dr. Luthfi Muta’ali, SSi, MSP. Agenda berikutnya adalah me-review RTRW yang juga akan dikebut. Kita berharap, RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) juga segera menyusul untuk direalisasikan. Dokumen RDTR inilah yang akan menjadi rujukan penting dalam perizinan sehingga penggunaan lahan sesuai dengan peruntukan yang sudah ditetapkan.


Kabupaten Jember adalah satu-satunya kabupaten  di Jawa Timur yang belum memiliki dokumen Kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH). Dokumen ini bukan lah buku suci bagi pembangunan berkelanjutan, namun setidaknya semua dokumen perencanaan daerah baik jangka pendek, menengah dan panjang serta RTRW merujuk pada kajian teknokratis yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Dokumen D3TLH dan turunannya setidaknya menjadi koridor bagi perencanaan yang mengakomodasi kehendak politik yang terjadi lima tahunan.

Rancangan dokumen D3TLH Kabupaten Jember bisa didownload disini : http://bit.ly/LAPDALD3TLHJEMBER

Pengendalian lingkungan dalam pembangunan daerah membutuhkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian izin, yaitu berbasis pada dokumen-dokumen lingkungan dan perencanaan tersebut diatas. Namun dengan adanya kebijakan pemangkasan birokrasi perizinan, maka dibutuhkan mekanisme proses perizinan yang tersistematis dan terintegrasi. Dokumen-dokumen di atas juga harus mudah diakses dengan sistem informasi data spasial oleh seluruh OPD. 


Sistem informasi data spasial sebenarnya sejalan dengan Kebijakan Satu Peta (KSP). Sudah lebih dari satu dekade Badan Informasi Geospasial (BIG) menginisiasi terwujudnya sistem satu peta yang terintegrasi. Sayangnya, sampai dengan saat ini rintisan tersebut masih jauh dari harapan. Banyak provinsi dan kabupaten/kota yang belum menerapkan sistem satu data spasial. Sebenarnya, berbagai kemudahan sudah ditawarkan BIG kepada provinsi dan kabupaten/kota agar membangun portal gis pemda. Diantaranya yaitu bantuan teknis penggunaan server dan juga template portal gis yang mudah di-customize. Namun respon dari daerah sangat beragam. Ada daerah yang belum menempatkan portal GIS sebagai prioritas kebutuhan pemda. Ada juga yang menganggap sistem portal GIS dari BIG kualitasnya dibawah standar daerah tersebut. Hal ini seperti di Kabupaten Banyuwangi, sempat menggunakan portal GIS dari BIG namun kemudian membangun portal GIS mandiri yang lebih lengkap dan kompleks. 


Kabupaten Jember pun sebenarnya juga memiliki portal gis di  http://jemberkab.ina-sdi.or.id/ sayangnya baru sekedar ada. Sama sekali belum dioptimalkan pemanfaatannya. Bahkan sistem satu data terintegrasi pun belum ada, alih-alih data spasial. Ini akan menjadi kendala utama dalam upaya penerapan pemangkasan birokrasi perizinan yang di dalamnya harus mengacu pada dokumen-dokumen perencanaan daerah yang sudah dikaji mendalam dengan berwawasan lingkungan. Untuk itu, penyiapan infrastruktur IT baik hardware, software, dan brainware (SDM) adalah sebuah keniscayaan.


Bagaimana SDGs di tingkat pemerintah desa? 

Secara teori, pendataan pada lingkup yang lebih detail akan menghasilkan data yang lebih akurat. Hasil pendataan juga diharapkan bisa langsung ditindaklanjuti oleh pemerintah desa setempat. Namun ada yang beranggapan bahwa pelaksanaan SDGs di tingkat desa akan memberatkan perangkat desa. Mereka jadi sibuk membuat laporan dan akhirnya kekurangan waktu untuk mengurus warganya. Indikator-indikator SDGs juga dinilai hanya mengikuti kajian teknokratik dan kurang menyentuh denyut kehidupan dan suasana kebatinan warga desa. Program-program pembangunan yang bentuknya proyek-proyek seperti ini seharusnya memang disikapi dengan bijak, lebih mengedepankan substansi dari pada sekedar administratif.


Wallahu a’lam bi showab..



Referensi:

Posting Komentar untuk "Pembangunan berkelanjutan di era otonomi daerah"