Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Infrastruktur desa pendukung pengelolaan sumber daya air


Media Indonesia 13-08-2021

Mungkin akan muncul pertanyaan, mengapa kegiatan dari dana desa harus turut memikirkan kepentingan kabupaten? Bukan kah seharusnya hanya untuk kepentingan warga desa saja? Kabupaten kan bisa pakai dana APBD? Pertanyaan ini bisa saja muncul jika pemerintah desa merasa "kurang leluasa" karena kegiatannya diintervensi. Namun perlu dipahami, jika sebuah desa tidak berdiri sendiri di sebuah pulau, maka setiap kegiatannya bisa berdampak pada wilayah di sekitarnya. Terutama dipandang dari aspek pengelolaan sumber daya air (SDA), setiap kegiatan infrastruktur desa yang berada di hulu bisa sangat berdampak bagi desa yang berada di hilirnya dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). 

Di samping dari aspek teknis pengelolaan SDA, hal ini juga ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, pada pasal 15 menyebutkan tugas pemerintah kabupaten/ kota, pada poin (m),  memberikan bantuan teknis dan bimbingan teknis dalam Pengelolaan Sumber Daya Air kepada  pemerintah desa. Artinya, desa sebagai ujung tombak pembangunan daerah kabupaten/ kota harus diberikan perhatian khusus, apalagi dalam pembangunan infrastruktur desa yang berdampak pada kehandalan DAS, baik langsung maupun tidak langsung. 

Secara umum, pemerintah kabupaten berkewajiban membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintah desa. Hal ini telah diamanahkan oleh Undang-undang Nomor 6 Tahung 2014 tentang Desa, pasal 115 yaitu pemkab memiliki tugas membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintah desa. Secara rinci terdapat 14 poin yang harus dibina dan diawasi, bisa dibaca pada undang-undang tersebut (lihat referensi dibawah).

Aspek pengelolaan sumber daya air
Sifat air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah membuat banyak hal kegiatan manusia yang berada di hulu akan berdampak pada manusia di hilir. Air sangat dibutuhkan bagi segala jenis kehidupan dalam waktu, lokasi, jumlah dan mutu tertentu atau disingkat dengan Warung Jamu (waktu, ruang, jumlah, mutu). Dalam beberapa dekade ini, ketersediaan air yang fluktuasinya makin hari makin ekstrim, keterlibatan berbagai pihak dalam memahami dan mendukung pengelolaan SDA sangat dibutuhkan. Saat ini, ketika puncak musim hujan terjadi banjir dan pada saat kemarau terjadi kekeringan. Mutu air juga sangat rendah karena laju sedimentasi yang tinggi dan sampah/ limbah yang berlimpah ruah masuk ke badan sungai dan saluran irigasi. 

Pengelolaan SDA, karena sifatnya seperti yang tersebut diatas, maka harus berbasis pada Daerah Aliran Sungai (DAS) dan lebih baik lagi didetailkan dengan Sub-Das. Tiap DAS seharusnya sudah ada kajian tentang profil DAS,  sudah dipetakan dimana daerah hulu, tengah dan hilir DAS dan bagaimana kondisinya,  kelerangannya, dimana daerah-daerah yang berdataran rendah yang berpotensi untuk daerah retensi, dimana daerah-daerah rawan banjir, berapa laju erosi dan sebagainya. 

Kajian utama yang penting untuk pengelolaan DAS adalah "Analisa Keseimbangan Air" (water balance), yaitu antara grafik ketersediaan air dan grafik kebutuhan air harus seimbang. Kelebihan air pada musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau dianalisa hingga mendapatkan rekomendasi langkah apa saja yang dilakukan. Berapa luasan minimal  kawasan Hulu yang harus dipulihkan, dengan tanaman apa saja, berapa dimensi saluran/ badan sungai, berapa volume tampungan yang dibutuhkan untuk mensuplay air di musim kemarau, dan seterusnya. Rekomendasi harus berbasis spasial sehingga jika di over lay (tumpang susun) dengan peta administrasi desa, akan muncul arahan pembangunan infrastruktur desa yang mendukung pengelolaan SDA. 





Dinas PU yang menjadi leading sektor dalam koordinasi pembangunan infrastruktur desa, dalam hal ini adalah dalam aspek pengelolaan SDA perlu bersinergi dengan OPD lain. Adapun bentuk-bentuk kolaborasi sesuai  dengan kategori infrastruktur desa adalah sebagai berikut:

1. Bangunan konservasi
Di kawasan hulu DAS, direkomendasikan agar semua kegiatan mendukung konservasi air. Di daerah yang kelerengan sangat tinggi akan lebih baik ditanam tanaman tahunan tapi bukan tanaman yang diambil kayunya. Tanaman tahunan diharapkan dapat mengurangi laju erosi dan membantu meresapkan air. Adapun di daerah yang paling rendah, disarankan agar dibangun sumur resapan, embung atau kolam retensi. Ketika debit aliran permukaan berlimpah terutama saat puncak musim hujan, bangunan konservasi air tersebut diharapkan dapat  mengurangi resiko bencana banjir sekaligus mengisi air tanah (recharge). Di samping bermanfaat bagi desa yang bersangkutan, infrastruktur desa ini juga bermanfaat bagi desa sekitar karena akan menambah tinggi muka air tanah.

Apabila biaya yang dibutukan terlalu besar bagi dana desa, maka cukup menyiapkan daerah retensi yang dikhususkan untuk menampung debit ekstra tersebut. Daerah ini juga bisa dimanfaatkan untuk ruang publik atau kegiatan usaha desa, misalnya kolam pemancingan. 

Bagaimana efektifitas kolam retensi? Setiap upaya meresapkan air akan mengurangi resiko bencana banjir. Tidak hanya lingkup desa, bahkan secara perorangan dapat memberikan kontribusi penurunan resiko banjir dengan membuat biopori. Apabila dilakukan secara masif maka bisa jadi wilayah DAS tersebut akan bebas dari bencana banjir. 

Disamping kolam retensi, infrastruktur desa untuk mendukung konservasi air, yaitu long storage, embung, dan sumur resapan. Ini bisa disesuaikan dengan situasi kondisi wilayah dan alokasi biaya dari dana desa.

Kolaborasi antar OPD di wilayah ini, yaitu dinas pertanian, perkebunan, perikanan, lingkungan hidup dan juga dilibatkan dinas pariwisata.

2. Bangunan irigasi
Jaringan irigasi yang masuk di wilayah desa (jaringan irigasi tersier) adalah menjadi kewenangan lembaga Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A/ HIPPA) di desa yang bersangkutan. Apabila lembaga P3A belum "berdaya", maka urusan irigasi desa/ jaringan irigasi tersier menjadi urusan pemerintah desa.

Pembangunan jaringan tersier harus berkoordinasi dengan petugas lapangan Dinas PU (juru atau pengamat) karena harus mempertimbangkan pola operasi Daerah Irigasi. Jangan sampai jaringan tersier sudah dibangun tapi debit air tidak sesuai dengan yang diharapkan. Demikian juga pembangunan pendukung irigasi, misalnya embung, long storage, dan sebagainya, tentunya juga harus berkoordinasi agar mendapatkan manfaat yang maksimal dan berkelanjutan.

Kolaborasi antar OPD di wilayah ini, yaitu dengan dinas pertanian.

3. Bangunan pengendali banjir
Saat debit air limpasan permukaan makin besar pada saat musim hujan, maka kehandalan sistem drainase diuji. Dimensi saluran drainase dan badan sungai harus mampu membawa debit air maksimal di puncak musim hujan. Untuk itu, dimensi saluran drainase harus selalu  dipertahankan. Kendala yang terjadi adalah, laju sedimentasi yang mempercepat penyempitan dimensi saluran. Adapun dimensi badan sungai menjadi kewenangan pemerintah provinsi/ kabupaten. 

Selain itu,  masalah sampah seringkali menjadi momok bagi pengelolaan SDA. Sumber sampah harus dipetakan dan dibuat sistem pengelolaan sampah terpadu. Terutama adalah pasar-pasar tradisional penghasil sampah terbesar. Depo sampah sedapat mungkin tidak berada dekat sungai atau saluran karena rawan masuk ke sana akibat terbawa air limpasan/ hujan. Namun yang lebih penting lagi dan untuk mencegah hal tersebut diatas, depo harus dekat dengan akses jalan untuk memudahkan pengangkutan secara rutin. Pengambilan secara berkala disesuaikan dengan volume sampah, sehingga tidak sampai meluber dari batas depo sampah.

Tempat sampah sebaiknya tersebar di lokasi-lokasi strategis dan harus dipilah minimal 3 macam yaitu, organik, anorganik dan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) sehingga nanti proses pengolahan lebih efisien bisa menghasilkan keuntungan, misalnya kompos,  kerajinan daur ulang, bahkan energi listrik. 

Kolaborasi antar OPD di wilayah ini, yaitu dengan dinas lingkungan hidup dan Ciptakarya.

4. Bangunan pemanfaatan air lainnya
Disamping untuk irigasi, pemanfaatan air di desa yang diutamakan adalah air baku minum untuk rumah tangga. Dibutuhkan infrastruktur perpipaan agar mata air bisa langsung disalurkan ke rumah-rumah. Ini akan mengurangi beban keluarga terutama perempuan yang biasanya berada di sektor domestik. Dengan begitu, perempuan bisa lebih banyak waktu, baik untuk usaha maupun pendidikan anak.  

Untuk menghindari konflik pemanfaatan sumber mata air, maka seharusnya diatur oleh pemerintah, terutama di tingkat kabupaten. Mata air tidak boleh dikuasai oleh desa, karena hidupnya mata air pasti mendapatkan recharge dari daerah yang lebih luas. Titik mata air hanyalah noktah kecil dari "tampungan besar" dalam tanah yang batas-batas luasannya sulit untuk diketahui. Berbeda apabila desa membangun infrastuktur Penampung Air Hujan (PAH). 

Disamping air baku minum, potensi air juga bisa dimanfaatkan untuk energi alternatif, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Air sungai atau air irigasi untuk membangkitkan generator listrik secara materi tidak hilang karena hanya dimanfaatkan tenaganya saat jatuh (melalui pipa pesat/ penstock) karena beda ketinggian. Setelah memutar turbin, air bisa dikembalikan (dipertemukan di hilirnya) ke saluran atau badan sungai asalnya. Ini adalah energi yang ramah lingkungan dan ramah biaya operasional, namun memang perlu investasi yang cukup besar. Semua pemanfaatan air harus dikelola sebuah lembaga tertentu atau swadaya karena butuh biaya operasional atau perawatan agar manfaatnya dapat berkelanjutan. 

Kolaborasi antar OPD untuk tujuan-tujuan diatas, yaitu: Dinas Ciptakarya, Lingkungan hidup, dan ESDM.

Untuk mewujudkan sinergi semua pihak dalam pengelolaan SDA dibutuhkan kajian profil DAS, seperti yang saya sebutkan diatas. Dalam hal belum ada kajian yang dapat dipertanggung-jawabkan, setidaknya ada arahan secara teoritis sehingga pemerintah desa dapat menjadikan acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan infrastruktur desa.

Untuk melengkapi wacana ini, silahkan membaca juga "Sinergi infrastrur desa dengan RPJMD" pada postingan sebelumnya.

Wallahu a'lam bisshowab..

Posting Komentar untuk "Infrastruktur desa pendukung pengelolaan sumber daya air"