Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akselerasi Perubahan Butuh Rencana Induk

(Memperingati Hari Air Dunia yang ke- 31) 


Suara garengpung mulai bersahutan sejak awal Maret. Konon ini pertanda pancaroba telah tiba. Fakta ini ternyata tidak jauh berbeda dengan hasil kajian BMKG.  Pada April Dasarian (sepuluh harian) kedua nanti, menurut BMKG, sebagian besar wilayah Jember diprediksi akan memasuki musim kemarau. Setidaknya masih ada tanda alam adanya pergantian musim, di tengah anomali iklim yang makin tak menentu ini.

Lengkingan suara garengpung ini bagaikan peluit panjang yang mengakhiri pertandingan sepak bola setelah “dihajar habis-habisan” tim lawan. Bencana banjir dan longsor mendera silih berganti di negeri ini. Pihak-pihak yang berwenang pun hanya memberikan pernyataan bahwa penyebab bencana tersebut karena intensitas hujan yang sangat tinggi, dan urusan pun selesai.

Saat musim hujan usai nanti mestinya akan menjadi momen untuk berbenah, memperbaiki diri untuk menyongsong musim hujan yang akan datang. Bagaimana kondisi catchment area? Berapa jumlah debit limpasan permukaan? Dimana saja titik-titik lokasi yang (1) penyumbang debit air limpasan yang ekstrim? (2) penghambat pematusan (drainase)? (3) menjadi “langganan” banjir? Semua titik tersebut tentu punya “cerita” masing-masing. Pada akhirnya harus dapat ditarik benang merah dan kemudian disusun menjadi sebuah rencana induk  (master plan) penyehatan DAS (Daerah Aliran Sungai)? 

Perlu diingat, keandalan DAS tidak hanya mengurai genangan banjir dan mempercepat pembuangan ke laut, tapi juga kemampuan mengumpulkan, menahan, dan meresapkan air ke dalam tanah sehingga dapat me-recharge air tanah. Ketersediaan air tanah ini menjadi buffer stock saat musim kemarau.

Lepas dari La-Nina menghadapi El-Nino

Sayangnya, musim kemarau yang segera datang ini adalah awal dari fenomena El-Nino. Berbeda dengan La-Nina yang terjadi pada 3 tahun terakhir ini, El-Nino akan memaksa kita menghadapi tahun-tahun yang kering. Artinya, pergantian musim kali ini bukanlah sebuah  akhir bencana, tapi hanya akhir dari bencana banjir menuju ancaman bencana kekeringan.

Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dilansir  katadata.com, sepanjang tahun 2022 jumlah kejadian bencana banjir mendominasi, yaitu 1.524 kejadian. Jumlah ini setara 43,1% dari total kejadian bencana alam yang sejumlah 3.531 kali. Yang patut kita soroti lagi adalah bencana tanah longsor sebanyak 634 kali dan bencana kekeringan tercatat 4 kali. Bencana-bencana di atas menggambarkan betapa rentan DAS-DAS (Daerah Aliran Sungai) kita.

Krisis air tidak hanya dihantui adanya bencana banjir dan kekeringan, tapi juga pencemaran air (too much, too little, to dirty). Masalah sampah yang belum juga ada solusi, menjadi penghambat berbagai sektor pembangunan, baik irigasi, pariwisata, dan terlebih lagi adalah sektor kesehatan masyarakat. Tidak hanya masalah estetika jika sampah bertebaran dan liar, aksi-aksi vandalisme terhadap sungai juga akan memicu masalah yang lebih besar, baik saat ini maupun yang akan datang.

Hari Air Dunia, tiap 22 Maret

Dalam upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat global terhadap permasalahan di atas, maka secara tahunan diperingati Hari Air Dunia, setiap tanggal 22 Maret. Peringatan ini diinisiasi oleh PBB sejak tahun 1992. Pada peringatan Hari Air Dunia yang ke 31 ini mengambil tema Accelerate change, atau Akselerasi Perubahan. Latar belakang tema ini salah satunya adalah hasil kajian bahwa, perlu akselerasi 4 kali lebih cepat untuk mencapai target tahun 2030 terwujud SDG 6  (Sustainable Development Goal/ Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). SDG 6 adalah Clean Water and Sanitation for All. 

Meskipun peringatan hari air dunia sudah yang ke 31, intensitas bencana banjir sepertinya belum ada penurunan signifikan. Secara teori, jumlah air dalam siklus hidrologi relatif tetap. Jumlah air yang ber-siklus hidrologi ini sedikit bertambah dengan adanya fenomena La-Nina. Artinya, selama ratusan tahun alur sungai dapat menampung debit banjir. Patut dipertanyakan jika debit banjir ini kemudian menjadi bencana banjir secara tahunan. Daftar pertanyaan evaluasi di atas barangkali memang perlu disikapi di setiap DAS.

Mengembalikan kesehatan DAS memang bukan perkara mudah. Upaya ini juga terkait dengan tingkat kesadaran masyarakat. Apapun aktivitas manusia di hulu akan berdampak pada manusia di hilirnya. Terutama jika menyebabkan perubahan tata guna lahan dan memproduksi limbah. Untuk itu perlu sebuah rencana induk yang nanti bisa dievaluasi capaiannya setiap tahun. Rencana induk juga menetapkan target terukur dan melibatkan berbagai pihak dengan peran spesifik yang jelas. Ketika hasil evaluasi ternyata masih jauh dari target maka barulah dikatakan "butuh akselerasi" sekian kali lipat.

Salah satu contoh adalah Program Citarum Harum di Jawa Barat. Setelah viral karena dinobatkan menjadi sungai terkotor di dunia, pada tahun 2018 dimulai program ini. Perbaikan DAS Citarum di mulai dari catchment area. Titik-titik rawan banjir ditangani dengan berbagai pekerjaan, mulai dari kolam retensi, sudetan, hingga pembangunan terowongan air untuk mengurai genangan/ banjir. Berbagai pihak terlibat aktif sehingga perubahan Citarum dapat dirasakan. Program Citarum Harum rencananya akan berakhir pada 2025. Belum tahu apakah akan sesuai target atau akan butuh percepatan.

Peran pemerintah

Dalam upaya penyehatan DAS, peran pemerintah adalah sebagai inisiator, regulator, motivator, dan dinamisator. Selebihnya adalah peran seluruh elemen masyarakat yang menentukan akankah tujuan dapat tercapai dalam waktu yang sudah ditargetkan. Rencana induk harus memuat target-target yang terukur dalam jangka menengah, yang kemudian didetailkan  programnya secara tahunan. Tiap unsur masyarakat mendapatkan perannya masing-masing. 

Sebagai contoh, misalnya program penyehatan DAS Bedadung, maka dari kawasan hulu (catchment area), tengah, hingga hilir memiliki program yang spesifik dan berkesinambungan. Target yang realistis dan terukur, misalnya  mengurangi 50 persen titik-titik rawan banjir, mengurangi 50 persen debit limpasan atau bebas dari banjir tiga tahunan.


Posting Komentar untuk "Akselerasi Perubahan Butuh Rencana Induk"