Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

3 Pertanyaan paling merusak suasana lebaran

 



Mudik lebaran adalah saat yang ditunggu-tunggu bagi siapa saja yang merayakannya. Itulah saat untuk melepas rindu  dengan  orang-orang tercinta, kerabat dan handai tolan. Berbagi kisah capaian hidup dan karirnya  masing-masing. 

Namun berbeda dengan orang-orang yang "merasa kurang sukses" meskipun sudah berjibaku dalam beberapa tahun terakhir ini. Semakin dekat waktu mudik justru membuatnya makin galau. Ungkapan hati mereka bahkan bisa kita temui contohnya tertulis di bak-bak truk. 

"Pulang malu, tak pulang rindu"

Bukan capaian karir atau banyaknya harta duniawi yang membuatnya tidak percaya diri. Semua pasti sudah memahami,  tapi tuduhan "keji"  yang menyakitkan hati. Lontaran pertanyaan yang seringkali sinis terlebih kepada orang yang lagi sensi. Alih-alih memberi solusi, pertanyaan itu justru terkesan membully. 

Tiga pertanyaan yang paling merusak suasana lebaran, yaitu:

1. Kapan lulus?

Pertanyaannya ini umumnya disertai anggapan bahwa si mahasiswa/wi kurang keras berusaha agar cepat lulus. Yang lebih menyakitkan hati, anggapan bahwa molornya studi itu disengaja agar tetap menikmati status mahasiswa.Alasannya, kalau lulus nanti susah nyari kerja. Masih ditambah lagi dengan pertanyaan, "Apa gak kasian orang tua yang membiayai?"

Mereka tidak (mau) tahu  bagaimana "penderitaan" si mahasiswa/wi selama proses mengerjakan tugas akhir.  Tidak hanya memeras otak tapi juga fisik dan mental. Jika biaya masih bergantung pada orang tua justru menjadi beban (mental) tersendiri. Belum lagi kalau penelitian di lapangan harus berjibaku menghadapi kerasnya alam dan berbagai jenis karakter manusia. 

Pendek kata, proses pengerjaan tugas akhir bagi semua mahasiswa tidaklah sama. Ada yang penuh perjuangan, ada yang asal-asalan dan bahkan ada yang pakai joki. Mereka yang mengerjakan skripsi dengan penuh perjuangan pun ada dua alasan, yaitu, mendapatkan dosen yang "sulit" atau atas keinginan sendiri karena sebuah idealisme. 

Mereka semua yang melewati perjuangan yang berat itu mengalami nasib yang sama, tekanan mental dari berbagai arah. Bahkan hingga dia pulang ke rumah waktu mudik lebaran. Mungkin beratnya pekerjaan menyelesaikan skripsi tidak lebih berat dari tekanan mental itu. Mereka jadi temperamen, dan akan meledak saat benar-benar pertanyaan (sinis) itu dilontarkan.

2. Kapan punya anak?

Ini pertanyaan yang sangat menyakitkan hati terutama jika diucapkan oleh orang yang punya banyak anak. Terkadang masih disertai sesumbar akan "kepiawaiannya" dengan ungkapan "senggol ae meteng" (disentuh aja bisa hamil). Pernyataan ini akan dimaknai begini,"aku ini lho, subur, kalau kamu mandul".

Belum lagi tuduhan sengaja menunda punya anak, karena mau menikmati kemanten baru. Padahal sudah beberapa tahun berjuang agar bisa mendapatkan keturunan. Andai mereka yang menuduh itu tahu bagaimana ikhtiar yang sudah dilakukan, pasti tidak akan menuduh "sekeji" itu. Siapapun akan mendambakan kehadiran si buah hati. Meskipun memang ada pasangan yang sepakat untuk child free alias tidak akan memiliki anak, tapi itu jumlahnya sangat sangat sedikit di Indonesia. Diantaranya bahkan karena keterpaksaan, misalnya memiliki masalah fisik maupun psikis.

Memiliki anak adalah insting setiap makhluk hidup, yaitu berkembang biak. Usaha untuk memiliki anak kadang dapat mempertaruhkan segalanya. Mulai dari pijat (kesuburan), herbal, hingga upaya medis, bahkan sampai ke luar negeri.  Betapa sakit hati mereka yang sudah mempertaruhkan segalanya kemudian terlontar pertanyaan yang berbau tuduhan "keji" seperti itu. Tidak mungkin semua upaya yang sudah dilakukan itu akan dijelaskan kepada si penanya. 

3. Kapan Nikah?

Ini adalah pertanyaan yang paling ekstrim menyakitkan hati bagi si bujang. Hidup membujang bukan pilihan banyak orang. Mungkin ada yang memilih jalan itu, tapi jumlahnya sangat sedikit. Itupun sering terjadi karena sudah lelah berusaha hingga usia tak lagi muda. 

Tuduhan paling umum tersirat dari pertanyaan yang contohnya seperti ini, "mau pilih yang seperti apa, sih?". Ini pertanyaan sepele tapi sangat menyakitkan bagi si bujang. Di telinga si bujang akan tertangkap makna seperti ini, "Turunkan kriteriamu, carilah jodoh sesuai kelasmu, jangan anggap diri terlalu tinggi, level kamu gak "setinggi" yang kamu kira".

Menjalani hidup bujangan tidaklah mudah. Seseorang di usia dewasa tentu akan mengalami banyak keruwetan dalam menjalani hidup. Tentu akan butuh seorang belahan jiwa tempat berbagi rasa. Ibarat kapal laut butuh pelabuhan untuk sandar dan membongkar segala beban hidup. Itulah sebabnya, mereka yang belum punya pasangan umumnya menjadi pribadi yang temperamental. 

Di beberapa kasus, bahkan seseorang yang sering ditanya 'kapan nikah' bisa menghabisi nyawa si penanya. Ini kesalahan yang sangat serius! Sudah banyak berita tentang ini. Jika ingin tahu lebih detail berita terkait, klik di sini.


Jika Anda punya pengalaman yang sama, silahkan tinggalkan komentar ya.. Atau bagikan ke orang yang Anda kenal, siapa tahu berguna.  



Posting Komentar untuk "3 Pertanyaan paling merusak suasana lebaran "